Pandangannya nanar, tak jelas apa yang dilihatnya. Sesekali ia menghela nafas dengan berat, dan kemudian memandang selang infus yang menempel di lengan kirinya. “Kalau begitu Bapak pulang saja bu,” ujarnya kepada wanita yang berdiri di samping tempat tidurnya.
Jiung, demikian biasa disapa. Pria paruh baya itu telah terbaring di bangsal sebuah rumah sakit milik pemerintah daerah selama dua hari. Dokter memvonis typhus, dan ia harus dirawat cukup lama di rumah sakit, minimal satu pekan. Namun, tak mungkin bagi Jiung harus tinggal selama itu di rumah sakit.
Yana, istri Jiung, mengeluh saat membesuknya di rumah sakit. Ia mengadu, persediaan beras dan makanan di rumah untuk anak-anak sudah menipis. Demikian halnya dengan uang belanja yang selama ini diberi suaminya.
“Beras dan susu anak-anak sudah habis Pak,” ujarnya. Aduan Yana itulah yang membuat Jiung berketetapan hati meninggalkan rumah sakit. Semestinya, ia harus tinggal di rumah sakit untuk pemulihan penyakitnya.
Memang benar, seluruh biaya perawatan di rumah sakit sudah ditanggung oleh pemerintah. Ia tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun untuk pengobatan karena ia termasuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Tapi saya tak mungkin tinggal di rumah sakit lebih lama dok. Saya harus bekerja lagi, istri dan anak-anak saya makan apa kalau saya tidak bekerja,” kilahnya saat meminta ijin pulang kepada dokter.
Jiung hanya penarik becak yang penghasilannya tak menentu. Sebagian besar pendapatan yang diraih diserahkan sepenuhnya kepada istrinya, untuk kebutuhan belanja dan keperluan rumah tangga lainnya.
***
Jiung adalah potret sebagian masyarakat kelas menengah bawah di perkotaan. Mereka adalah pekerja informal yang tak memiliki penghasilan pasti. Mereka yang memiliki nasib seperti Jiung adalah pedagang bakso, tukang ojek, buruh kasar, dan pedagang kaki lima lainnya. Meski memiliki jaminan kesehatan dari pemerintah, belum ada yang menjamin penghasilan mereka ketika jatuh sakit.
Berbeda dengan pekerja formal yang bisa tetap gajian ketika sakit, Jiung dan kawan-kawannya harus kehilangan kesempatan meraih penghasilan. Ketika sakit mereka tak bisa bekerja. Saat tak bisa bekerja, maka tak ada uang untuk menghidupi keluarga.
Fenomena Jiung inilah yang kemudian menjadi landasan Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggulirkan program Tabungan Kesehatan Masyarakat (Bungkesmas).
Bungkesmas adalah program advokasi dan edukasi yang dilakukan STF UIN Jakarta guna meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Program ini didesain dengan memadukan unsur tabungan dan asuransi kesehatan dalam satu paket produk. STF UIN Jakarta menggandeng Koperasi Jasa Keuangan Syariah atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT) sebagai mitra atau provider. “Pemilihan BMT dan koperasi sebagai pelaksana program ini karena lembaga ini bekerja di level akar rumput,” ujar Dr. Amelia Fauzia, penggagas utama program Bungkesmas.
Melalui program ini masyarakat miskin diajarkan untuk menyisihkan pendapatan sebagai cadangan jika sewaktu-waktu mengalami musibah, sakit, atau kecelekaan. Cadangan tabungan ini penting, agar mereka tak perlu menjual asset ekonomi karena musibah yang dialami. “Dengan begitu mereka bisa melewati masa-masa sulit dengan mengandalkan tabungan kesehatan yang dimiliki,” tambahnya.
Sejak digulirkan empat tahun lalu, perkembangan program Bungkesmas cukup menggembirakan. Per Juli 2015, tercatat ada 7.469 masyarakat yang notabene berasal dari kalangan ekonomi rendah menjadi penerima manfaat program ini.
Keberadaan program Bungkesmas bisa dikatakan sebagai pelengkap program JKN. Karena, berdasarkan riset yang dilakukan, kebanyakan warga miskin yang di-cover JKN, mereka masih tetap membutuhkan uang tunai untuk obat tambahan, ongkos transportasi keluarga yang menjaga, lebih-lebih kebutuhan keluarga yang ditinggalkan karena pengobatan di rumah sakit.
Amelia menambahkan, program ini memang menyasar masyarakat miskin, atau kelas ekonomi rendah. Program ini digulirkan karena berangkat dari data, bahwa sepertiga penduduk Indonesia, atau 77 juta orang, tidak memiliki simpanan yang dapat diandalkan apabila terkena musibah. Lebih-lebih masyarakat miskin yang bekerja di sektor informal dan kondisi keuangannya sangat rentan.
Program mikro asuransi Bungkesmas ini adalah terobosan agar masyarakat miskin atau kalangan ekonomi rendah dapat terproteksi. Saat ini, program Bungkesmas telah berjalan di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Banten, dan Jabodetabek, denan mitra provider 99 BMT atau koperasi.
Dengan “premi” yang cukup rendah, Rp100 ribu per tahun, itu pun dapat dicicil, peserta Bungkesmas memiliki benefit yang sangat besar. Beberapa manfaat yang dapat dipetik peserta adalah santunan rawat inap, biaya penggantian biaya operasi, santunan meninggal dunia, santunan pemakaman, dan santunan pendapatan keluarga tertanggung.
Selain itu, beberapa keunggulan program ini adalah tidak ada masa tunggu. Artinya, saat masyarakat mendaftar, saat itu pula ia sudah terjamin. Jika dalam waktu yang tidak begitu lama yang bersangkutan mengalami musibah, maka pada saat itu ia sudah bisa di-cover oleh Bungkesmas.
Dari sisi pendidikan dan penyadaran, peserta diwajibkan menabung Rp 2 ribu per hari atauRp 60 ribu per bulan. Tabungan ini tidak bisa diambil sewaktu-waktu, melainkan hanya untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu seperti biaya sekolah, ongkos ke rumah sakit, maupun obat tambahan.
“Dengan demikian, masyarakat yang ekonominya rentan, terutama pekerja informal tak perlu panik ketika jatuh sakit. Selain mereka sudah memiliki tabungan, penghasilan mereka juga terlindungi dengan asuransi Bungkesmas,” tukas Amelia. (Mir)