Monica tak kuasa menahan sedih saat membaca selembar surat dari kotak donasi. Lembaran kertas tersebut dibacanya sembari sesenggukan. Mahasiswi 21 tahun yang berprofesi sebagai model itu adalah salah satu dari enam generasi milenial yang menjadi relawan dalam eksperimen sosial mengenai filantropi. Mereka berasal dari profesi yang berbeda, suku dan agama yang berbeda. Setiap dari mereka diberikan lima lembar uang pecahan Rp 100.000.
Di belakang mereka terdapat empat kotak donasi dengan peruntukan berbeda; donasi untuk Ivan yang kelaparan, donasi kursi roda untuk Abel, beasiswa sekolah untuk Cornelius, dan donasi kepada lembaga filantropi Social Trust Fund (STF) untuk program pemberantasan korupsi. Setiap dari mereka bebas berdonasi melalui kotak mana pun sesuai dengan pilihan mereka. Selanjutnya, mereka membaca supucuk surat balasan yang tertempel di masing-masing kotak untuk mengetahui dampak dari donasi yang diberikan.
Lalu, mereka ditanya perasaannya setelah membaca surat-surat tersebut, dan dibukakan mata terkait dampak berbeda dari empat tujuan donasi itu. Antara bentuk charity yang jangka pendek, dengan filantropi yang jangka panjang. Beberapa mereka baru sadar bahwa donasi yang diberikan itu beragam dampaknya, dan banyak yang berubah pikirian bahwa kalau harus memiliih akan preioritaskan yang jangka panjang, seperti pemberantasan korupsi.
Eksperimen sosial kedua melibatkan anak-anak usia sekolah menengah pertama dari dua panti asuhan, yang pertama berbasis Islam dan yang kedua berbasis agama Nasrani. Beberapa remaja dari masing-masing panti asuhan itu berasal dari agama dan suku yang berbeda itu, diberi uang masing-masing senilai Rp 100.000. Mereka ditanya uang pemberian itu mau digunakan untuk apa. Mereka berterima kasih dan menuturkan hendak membeli sepatu, ada yang ingin membeli kebutuhan sehari-hari, ada yang mau membeli tas, dan seterusnya.
Sejurus kemudian, mereka diminta melihat tayangan di laptop. Bagi mereka yang Muslim menonton video anak SD bernama Jamie yang beragama Nasrani, dalam kondisi yang mengenaskan, pakaian sekolah lusuh, celana rombeng dan sepatunya jebol. Ke sekolah tanpa sepatu, berjalan melalui pematang sawah di tengah terik matahari. Tayangan di laptop bagi yang Nasrani berisi video mengenai Ilham, yang sama mengenaskan kondisinya dengan Jamie. Terenyuh, remaja belasan tahun yang menonton video itu tanpa ragu mendonasikan uangnya untuk Jamie dan untuk Ilham, kendati berbeda agama. “Kasihan Jamie, enggak punya sepatu buat sekolah, celananya rombeng,” isak Nesa, remaja berjilbab dari panti asuhan Muslim. “Karena kita semua itu diciptakan oleh Allah, jadi nggak ada yang berbeda satu pun…” begitu ujar Farhan. “Karena kita walaupun berbeda tetap satu, bersaudara”, kata Maria dengan tegas. Pesan-pesan yang menyentuh yang keluar dari remaja belasan tahun ini memperlihatkan nilai toleransi yang kuat yang mendukungn filantropi berkeadilan sosial.
Pembuatan video eksperimen sosial di atas dilakukan pada tanggal 13 dan 20 Juli 2019 oleh Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang didukung oleh Pemerintah Australia melalui Alumni Grant Scheme (AGS) yang dikelola oleh Australia Awards in Indonesia. Pembuatan video eksperimen sosial ini bekerjasama dengan Natadhisastra pics. Media video ini adalah salah satu cara menyebarkan hasil riset yang dilakukan oleh lembaga STF pada tahun 2017-2018 mengenai fenomena filantropi Islam untuk keadilan sosial.
Direktur STF UIN Jakarta Amelia Fauzia menuturkan, hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa Filantropi Berkeadilan Sosial sudah dipraktikkan secara sporadis baik oleh individu ataupun lembaga. Memang, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan, terutama masyarakat yang menafsirkan dalil-dalil keagamaan secara tekstual. Tetapi kendala tersebut dapat diatasi lewat dukungan pemerintah dan kreativitas para pegiat filantropi.
Hasil penelitian STF yang dibiayai oleh the Ford Foundation tersebut diapresiasi oleh banyak pegiat filantropi, misalnya disebarkan di group Whatsapp yang beragam, bahkan ada yang menerbitkan di website organisasinya, ujar peraih gelar doktor dari University of Melbourne dengan disertasi mengenai filantropi Islam itu. Sayangnya hasil riset tersebut hanya dibaca di kalangan terbatas; akademisi dan pegiat filantropi. Padahal informasi tersebut penting dibaca oleh khalayak yang lebih luas. Bahkan, menurut Amelia, “masyarakat masih banyak yang tidak memahami perbedaan antara charity dan filantropi, dan tidak ngeh mengenai filantropi untuk jangka panjang, apalagi memahami konsep filantropi berkeadilan sosial.”
Hingga kemudian pada Desember 2018, Pemerintah Australia melalui Australia Awards in Indonesia membuka kesempatan bagi seluruh alumni yang pernah belajar di Australia untuk mendapatkan dukungan pendanaan dan melaksanakan program yang berdampak positif bagi masyarakat Indonesia. Dukungan pendanaan ini dikenal dengan nama Alumni Grant Scheme (skema dana hibah alumni). Kesempatan berharga ini tidak dilewatkan oleh STF UIN yang mayoritas pegiatnya adalah alumni program master dan doktoral dari Australia sehingga mengajukan program berjudul “Making Philanthropy Works” yaitu edukasi mengenai praktek kedermawanan yang inklusif dan untuk jangka panjang yang berbasis pada riset STF sebelumnya.
Diseminasi hasil riset diarahkan untuk edukasi bagi kelompok milenial dan karenanya dilakukan dalam bentuk pembuatan infografis dan video pendek. Dua media ini yang selayaknya mudah dipahami oleh milenial, termasuk juga publik secara umum. Video pertama mencoba penekanan bahwa philanthropy mempunyai dampak perubahan jangka panjang, sementara video kedua menekankan pesan inklusifitasnya. “Seringkali riset yang serius sulit dipahami masyarakat luas. Dengan cara ini kami berharap semakin banyak orang yang memahami hasil riset ini sehingga bisa bermanfaat untuk masyarakat,” pungkas Amelia Fauzia. Video hasil eksperimen sosial ini masih dalam proses uji coba dan editing untuk penyempurnaan, yang nantinya akan disebarkan melalui media sosial.