“Dulu sebelum konflik (1999) kami orang Poso terbiasa saling berkunjung dan merayakan Natal atau Idul Fitri bersama (Muslim dan Kristen). Saat dan setelah konflik kami takut merayakannya bersama.” (Roswin Wuri, Ketua Presidium Persatuan Sekolah Perempuan Poso).
Itulah curahan hati masyarakat terkait kondisi Poso pasca konflik sektarian yang terjadi antara kelompok Muslim dan Kristen. Pekerjaan rumah yang cukup sulit adalah menyatukan hubungan yang dulunya rekat. Ketika konflik kekerasan mereda, para pengungsi enggan untuk kembali ke desanya sendiri. Akibatnya, daerah yang sebelum konflik relatif heterogen, berubah menjadi masyarakat etno-religius yang lebih homogen.
Itulah alasan mengapa Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki visi mengakselerasi pemulihan konflik demi terciptanya keadilan dan perdamaian sosial di wilayah Poso. Tentunya sebagai manifestasi Islam yang merupakan rahmat bagi semesta (rahmatan lil-‘alamin), STF UIN Jakarta menggandeng Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dan Persatuan Sekolah Perempuan Poso (PSPP) untuk melaksanakan program Beasiswa Perdamaian.
Skema Beasiswa Perdamaian 2018/2019 STF UIN Jakarta berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan evaluasi, lokasi penerima beasiswa tidak lagi tersebar di seluruh Kabupaten Poso karena cenderung tidak efektif. Jauhnya tempat tinggal antara penerima beasiswa yang satu dengan lain membuat sulitnya membuka ruang-ruang pertemuan antara mereka. Oleh karenanya, tahun ini seluruh penerima beasiswa berasal dari satu kelurahan yang sama yaitu Sangele.
Kelurahan Sangele merupakan sebuah desa di tengah kabupaten Tentena, kota kecil yang menjadi titik peledakan bom saat konflik terdampak cukup parah. Anak-anak penerima Beasiswa Perdamaian dan lainnya di Desa Sangele belum lahir saat konflik terjadi, namun mereka mengalami sistuasi yang disebut ‘post conflict segregation’. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan masyarakat yang masih menyisakan trauma masa lalu dan ketertutupan terhadap kelompok agama yang berbeda.
PSPP melakukan need assessment dengan salah satu indikatornya yaitu kondisi ekonomi. Sehingga diperoleh 10 anak tingkat SMP dan SMA; 5 perempuan dan 5 laki-laki dengan proporsi; 5 Muslim dan 5 Kristen. Program lanjutan ini fokus memaksimalkan ‘program beasisiwa’ tidak hanya untuk memperkuat akses pendidikan anak di wilayah pasca konflik saja, namun meningkatkan self-awareness siswa-siswi dan community-awareness baik keluarga dan masyarakat sekitar penerima manafaat program terkait penguatan relasi sosial.
Rangkaian kegiatan dari adanya Beasiswa Perdamaian yaitu; Community Meeting (20 September 2018), Penyaluran Beasiswa (Sesi I: 2-3 Oktober 2018, Sesi II: 4-7 Maret 2019), Inkuiri Education/Kebun Sayur Organik (16 Desember 2019), Merayakan Perbedaan; Natal Bersama, Peacebuilding Initiative/Lomba Cipta dan Baca Puisi (28 Maret-7 April 2019), Merayakan Perbedaan: Idul Fitri Bersama dan Penutupan Program Beasiswa. Telah membuka ruang-ruang pertemuan antar anak-anak juga orangtua penerima beasiswa, perwakilan sekolah, komunitas, para tokoh agama dan masyarakat dan aparatur desa Sangele.
“Program beasiswa ini melahirkan ide-ide terobosan dari pengurus PSPP yang menyasar pada membangun ruang-ruang perjumpaan Muslim-Kristen yang selama ini terhalang karena perspesi dan segregasi. Ide Natalan bersama misalnya. Membawa anak-anak dan orang tuanya berkunjung ke perayaan natal di desa lain di Tendeadongi merupakan hal baru dalam babak kehidupan mereka, baik Muslim maupun Kristen sendiri.” Papar Ghufron, selaku Design, Monitoring and Evaluation dari AMAN Indonesia.
Adanya beasiswa ini juga seperti anugerah bagi wali murid penerima beasiswa, “Program beasiswa ini sangat unik, karena selain anak-anak tambah semangat belajarnya, kami orang tua juga dipertemukan dengan saudara yang berbeda agama. Seperti ini kami (Kristen) bisa turut dalam halal-bihalal Idul Fitri.”