Oleh: Iik Hikmatul Hidayat
Zakat merupakan rukun Islam yang ke tiga. Keberadaannya, mempunyai pengaruh yang besar dalam menurunkan angka kemiskinan. Hal ini sesuai dari definisi zakat yang berarti suci, tumbuh atau berkembang.[1] Dalam al-Qur’an perintah mengeluarkan zakat sering disebutkan setelah perintah melaksanakan shalat. Hal ini seperti yang terdapat dalam surat at-Taubah ayat 11 :
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ ۗ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya : “jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui”. (Q.S. at-Taubah : 11)
Selain itu juga masih banyak ayat-ayat yang menyebutkan perintah zakat setelah perintah shalat. Ini menunjukkan bahwa zakat memiliki peran dan kedudukan penting dalam Islam. Dalm hal Allah SWT berfirman :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. at-Taubah : 103).
Adapun harta yang wajib dizakati adalah zakat hewan ternak, zakat emas dan perak, zakat hasil pertanian, zakat buah-buahan, serta zakat harta perniagaan.[2] Dalam hal ini Wahbah Az-Zuhaili berbeda pandangan, bahwa harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak, rikaz (barang temuan), harta hasil perdagangan, pertanian dan buah-buahan, serta harta hasil peternakan.[3] Namun seiring dengan perkembangan zaman, pendapatan tidak hanya diperolah dari kelima sumber tersebut. Misalnya muncul sumber pendapatan lain, seperti ada yang berprofesi sebagai dokter, pengacara, pegawai pemerintahan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan muncul perdebatan mengenai zakat yang mesti dikeluarkan dari berbagai profesi ini.
Hal ini dikarenakan tidak adanya nash yang memberikan penjelasan mengenai ketentuan zakat profesi tersebut. Ditambah pelaksanaan zakat profesi belum pernah dicontohkan pada masa Nabi serta tidak adanya pandangan ulama klasik mengenai ini menyebabkan zakat profesi dianggap sebagai ahistoris. Dan hal ini juga yang menyebabkan munculnya perbedaan pandangan, sebagian ada yang mewajibkan mengeluarkan zakat profesi. Dan sebagian lainnya tidak setuju atau tidak membolehkan mengeluarkan zakat profesi karena kurangnya legitimasi tersebut.
Zakat Profesi dalam Analisa Qawa’id Ushuliyyah
Zakat profesi ini diartikan sebagai segala jenis profesi atau pekerjaan yang menghasilkan pendapatan atau penghasilan. Penghasilan sendiri oleh MUI diartikan sebagai segala pendapatan seperti gaji, honor, atau upah atau lainnya yang diperoleh secara halal baik secara rutin maupun tidak.[4] Namun, masih terdapat perdebatan mengenai kedudukan zakat penghasilan ini. Karena kedudukannya tidak ada dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam kajian ushul fiqih, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imron Rasyadi dan M. Muinudinillah Basri ketika suatu permasalahan yang dikaji tidak ditemukan dalam al-Qur’an maupun Sunnah, maka penetapan hukum dari permasalahan itu dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri dengan menggunakan Ijma, Qiyas (analogi), maslahah mursalah, istihsan, ‘urf, dan sadd dzari’ah.[5]
Dalam kaitannya dengan hukum zakat profesi, maka dapat dijelaskan dengan menggunakan qiyas (analogi). Selain itu dapat juga dengan menggunakan metode istinbath dari aspek kebahasaan seperti ‘am, serta amr. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama istinbath hukum dengan menggunakan metode qiyas. Qiyas secara bahasa berarti mengukur atau membandingkan sesuatu dengan yang serupa. Sedankan secara istilah, qiyas berarti
الحاق امر غير منصوص على حكمه بأمر اخر منصوص على حكمه لاشتراك بينهما فى علة الحكم[6]
“menghubungkan suatu perkara yang tidak ada hukumnya di dalam nash dengan perkara lain yang memiliki nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat”.
Jumhur sepakat bahwa qiyas termasuk salah sumber hukum yang muttafaq (disepakati) setelah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Sebagai sumber hukum islam qiyas memiliki beberapa ruku, yaitu al- Ashlu,, al-Far’u, hukum asal, serta ‘illat.[7]
Kaitannya dengan zakat profesi adalah karena ketentuan zakat profesi tidak terdapat dalam nash maka dalam hal ini penulis mencoba menganalisa menggunakan metode qiyas atau menganalogikan dengan mencari ‘illat (persamaan) dengan ketentuan zakat yang telah disebutkan dalam nash. Paling tidak, terdapat lima pendekatan yang berkaitan dengan metode qiyas, yaitu :
- Diqiyaskan dengan zakat emas dan perak
Pertama, zakat profesi diqiyaskan dengan dinar dan dirham. Keduanya memiliki ‘illat yang sama, yaitu sebagai alat tukar. Maka ketentuan zakat profesi dapat mengikuti zakat emas dan perak.
- Diqiyaskan dengan zakat perdagangan
Kemudian zakat profesi juga dapat diqiyaskan dengan zakat perdagangan. Hal ini karena terdapat kesamaan dalam hasilnya, yaitu berupa uang. Maka dari itu, nishab serta ketentuan lain dalam zakat profesi mesti mengikuti zakat perdagangan. Karena zakat profesi juga di qiyaskan dengan zakat emas dan perak, maka dalam hal ini juga mengikuti ketentuan zakat emas dan perak. Yaitu dikeluarkan sebesar 2,5% setelah mencapai nisabnya yaitu 85 gram emas dan dikeluarkan selama satu tahun sekali. Namun ini dinilai lemah karena berbeda objek.
Untuk lebih menjelaskan mengenai ada atau tidaknya ‘illat antara zakat profesi dengan zakat lainnya penulis mencoba membuat tabel berikut ;
No | Ashal | Furu’ | ‘Illat | Hukum |
1 | Zakat Profesi | Zakat Emas dan Perak | Alat Tukar | Wajib |
2 | Zakat Profesi | Zakat Perdagangan | Tidak ada ‘illat | – |
3 | Zakat Profesi | Zakat Pertanian | Tidak ada ‘illat | – |
4 | Zakat Profesi | Zakat Barang Temuan | Tidak ada ‘illat | – |
5 | Zakat Profesi | Zakat Peternakan | Tidak ada ‘illat | – |
Dari hasil qiyas ini, maka dapat dipahami bahwa zakat profesi ketentuannya mengikuti ketentuan zakat emas dan perak.
Selain menganalisa dari segi lafadz, untuk dapat menetapkan hukum zakat profesi juga menggunakan qawa’id lughawiyah dengan menggunakan kaidah amr, dan ‘am.
Berikut merupakan ayat mengenai perintah mengeluarkan zakat profesi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. al-Baqarah : 267).
Kemudian, ayat mengenai zakat ini dianalisa melalui beberapa kaidah, seperti :
- Kaidah Amr
Amr secara bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah, amr berarti suatu ucapan yang menuntut pekerjaan agar dilakukan dari orang yang derajatnya lebih tinggi kepada yang derajatnya lebih rendah. Secara lebih sederhana, amr berarti perintah atau tuntutan untuk melakukan suatu pekerjaan.[8]
Makna asal amar adalah wajib, ini berdasarkan kaidah الأصل فى الأمر للوجوب . Namun, Amr juga bisa keluar dari makna asalnya ketika ada dalil yang menunjukkan bahwa amr itu bermakna selain wajib, namun menyesuaikan dengan konteksnya. Misalnya bermakna Al-Wujub (Wajib), Al-Nadb (Sunnah), Al-Irsyad (mendidi), Al-Ibahah (Boleh), Al-Tahdid (menakut-nakuti), Al-Imtinan (keinginan untuk melakukan), Al-Ikram (memuliakan), Al-Taskhir (menghinakan), Al-ta’jiz (melemahkan), Al-Ihanah (mengejek), Al-Taswiyah (menyamakan), Al-Du’a (do’a), Al-Tamanni (mengangankan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi), Al-Ihtiqar (menganggap enteng terhadap yang disuruh), Al-Takwin (penciptaan) serta Al-Khabar.[9]
Berdasarkan banyaknya shighat tersebut, maka kata انفقوا menunjukkan asal makna wajib. Karena tidak ada qarinah yang menunjukkan makna itu bukan wajib. Maka dalam hal ini berlaku kaidah الأصل فى الأمر للوجوب . Selain itu juga berlaku pada ayat-ayat mengenai perintah zakat yang lain, seperti dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 219 serta Qur’an surat at-Taubah ayat 103. Artinya menunjukkan kewajiban mengeluarkan zakat.
Selain itu, kaidah lain yang sesuai menurut hemat penulis adalah الأصل فى الأمر لايقتضي الفور (asal dari perintah tidak menunjukkan segera). Kaitannya dengan zakat, adalah bahwa pelaksanaan zakat itu berdasarkan waktu tertentu. Dalam hal ini zakat mal atau zakat profesi maka terdapat ketentuan haul. Dan hal ini juga termasuk ke dalam salah satu syarat wajib zakat. Seperti dalam hadis yang menyatakan
ليس في مال زكاة حتى يحول عليه الحول (رواه ابوداود)
[10] “tidak ada zakat pada harta sampai berputar satu tahun
Dalam hal ini juga berlaku kaidah [11]الأمر باالشيئ نهي عن ضده (perintah dengan sesuat berarti melarang kebalikannya). Makna dari kaidah ini adalah bahwa jika ada suatu perintah, maka dilarang untuk tidak mengerjakannya. Contoh, perintah untuk mengeluarkan zakat dalam al-Qur’an, maka dilarang untuk tidak melaksanakannya.
- Kaidah ‘Am
‘Am itu berarti lafadz yang menunjukkan makna tanpa ada batas.[12] Dalam hal ini terdapat banyak lafadz yang menunjukkan arti ‘Am (umum), yaitu ‘ām yurādu bihī qat’an al-‘umūm, ‘ām yurādu bihī qat’an al-khusus, serta ‘ām makhshūsh.[13]
Dari beberapa lafadz yang ada, maka kata من طيبت ماكسبتم termasuk ke dalam lafadz ām makhshūsh. Hal ini juga terdapat dalam Qur’an surat al-Baqarah ayat 219 serta Qur’an surat at-Taubah ayat 103.
Dari dalil ini, maka penulis mencoba melakukan analisa bahwa dapat diterapkan kaidah ushul seperti :
المفهوم له عموم
“Makna tersirat itu mempunyai bentuk yang umum”
Selain itu, kaidah lain yang diterapkan juga adalah
العبرة بعموم اللفط لا بخصوص السبب[14]
“Suatu ungkapan itu berdasarkan keumuman lafadz bukan berdasarkan sebab yang khusus”
Serta juga dapat diterapkan pada kaidah
العمل بالعام قبل البحث عن المخصص لايجوز
“Mengamalkan lafadz yang bersifat umum sebelum ada pengkhususan maka hal itu tidak diperbolehkan”
Daftar Pustaka
[1] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr, 1985), Juz 3, h. 729.
[2] Mustafa Deeb al-Bagha, al-Tadzhīb (fī adillati matn al-ghāyat wa al-taqrīb), (al-Haramain, 1978), h. 89.
[3] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, (Damaskus : Dār al-Fikr, 1985), Juz 3, h. 758.
[4] Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang “Zakat Penghasilan”, h. 208-209
[5] Imron Rasyadi dan M. Muinudinillah Basri, Usul Fikih “Hukum Ekonomi Syariah”, (Surakarta : MUP, 2020), h. 10.
[6] Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus : Dār al-Fikr, tt.), h. 218.
[7] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Beirut, Dār al-Fikr, 1996), h. 85.
[8] Ajil Jasim Linasymi, Thuruq Istinbath min al-Qur’an al-Karim, (Kuwait : Jami’ah Kuwait, 1997), h. 69.
[9] Ajil Jasim Linasymi, Thuruq Istinbath min al-Qur’an al-Karim, (Kuwait : Jami’ah Kuwait, 1997), h. 70-72.
[10] Mustafa Deeb al-Bagha, al-Tadzhīb (fī adillati matn al-ghāyat wa al-taqrīb), (al-Haramain, 1978), h. 90.
[11] Ajil Jasim Linasymi, Thuruq Istinbath min al-Qur’an al-Karim, (Kuwait : Jami’ah Kuwait, 1997), h. 70-80.
[12] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Beirut, Dār al-Fikr, 1996), h. 171.
[13] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Beirut, Dār al-Fikr, 1996), h. 174.
[14] Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul al-Fiqh, (Beirut, Dār al-Fikr, 1996), h. 178.