STF UIN Jakarta menggelar pertemuan kedua dari serial BISPRO dengan mengusung tema ‘Islam Wasathiyah: Masa lalu, masa kini, dan masa depan’ yang berlangsung pada hari kamis (14/4/2022) lalu. Acara yang dihelat secara luring ini, dibawakan oleh Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.hum selaku Guru besar Filologi UIN Jakarta.

Dengan pertemuan ini diharapkan bisa memberikan sudut pandang baru kepada profesional maupun masyarakat umum mengenai apa itu Islam Wasathiyah. Islam Wasathiyah itu sendiri mengajarkan umatnya untuk adil, seimbang, tidak terlalu ke kiri dan juga terlalu ke kanan.

Pasalnya, ditengah gempuran banyaknya paham fanatik dari suatu golongan yang seringkali membid’ahkan dan mengkafirkan (takfiri) kelompok yang tidak sepaham dengannya, Islam Wasathiyah justru hadir dan memberikan angin segar untuk menjawab tantangan dan menyeimbangkan kelompok ekstrem tersebut.

Disamping itu, STF UIN Jakarta sejak awal konsisten menggunakan konsep moderasi ketika banyak kelompok yang selalu mengusungkan istilah deradikalisasi (violence extrimism) atau ada juga yang menyebut dengan istilah counter extrimism.

Secara konseptual, kata wasathiyah berasal dari lafadz wasatho dalam al-Qur’an dengan mutashorifnya disebutkan sebanyak 5 kali. 1) wasathna (Q.S Al-Adiyat: 5) yang berarti ditengah-tengah;  2) kata wasatha (Q.S Al-Baqarah: 143) yang bermakna adil dan pilihan; 3) ausith (Q.S Al-Maidah: 5) tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan; 4) ausath (Q.S Al-Qalam: 28)  memiliki kemampuan yang cerdas; dan 5) lafadz wustho (Q.S Al-Baqarah: 238) yang berarti tegak di tengah-tengah.

“Maka dari konsep inilah, Islam yang wasathiyah itu akan menggambarkan keseimbangan, keadilan, dan tidak berlebih-lebihan”, jelas Oman.

Lebih lanjut, menurutnya ketika Islam wasathiyah dihadirkan pada konteks masa sekarang yang dalam hal ini ke Indonesiaan dengan ragam agama, maka munculah suatu ijtihad yang disebut dengan moderasi beragama.

Dalam kaitannya dengan toleransi, Prof Oman memaparkan bahwa pada konteks Islam Wasathiyah yang didalamnya mencakup nilai-nilai toleransi itu bukan berarti kita malah mengorbankan keyakinan akidah.

“Maka berangkat dari nilai-nilai toleransi tersebut, jika kita mencoba melihat masa lalu, upaya-upaya dalam menampilkan Islam yang moderat, upaya-upaya Islam dalam menegakkan nilai-nilai wasathiyah itu memang sudah terlihat dalam literatur-literatur sejarah klasik Islam”, lanjut Oman.

Disisi lain, Ia sedikit menyinggung dua peran ormas keagamaan besar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah sudah memberikan kontribusi untuk menengahi dan mengeluarkan konsep-konsepnya tentang apa itu moderasi atau Islam Wasathiyah.

“Mengutip dari perkataan Prof Din Syamsudin ada yang dikenal dengan istilah Wasathiyah Muhammadiyah yang terkenal dengan karakter Islam yang lues, tapi juga tegas dan mandiri, namun jika kita melihat yang lebih eksploratif lagi di dalam konsepsi para Nahdatul Ulama. Islam Wasathiyah tergambar dengan tiga pilar: Moderasi pemikiran, gerakan, dan perbuatan. Maka berangkat dari hal tersebut, baik itu dari Muhammadiyah dan NU sudah menggambarkan bahwa pemikiran kegamaan sudah bisa dipadukan dengan teks dan juga konteks”, jelas Oman.

Dalam penyampaian penutupnya, berkaitan dengan menyikapi perbedaan pemahaman dan pendapat. Prof Oman memberikan wejangan bahwasannya meskipun kita memiliki keyakinan dan pemahaman tersendiri, disaat yang bersamaan kita juga harus mempersilahkan dan mendengarkan pemahaman orang lain yang barangkali berbeda.

“Karena sikap yang sebaiknya dilakukan itu ialah sikap yang mencari jalan tengah dan titik temu untuk menyelesaikan diantara berbagai perbedaan pemahaman”, tutup Oman.

Penulis: M. Bayu Dewantara Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here