Belajar Islam Untuk Profesional pada pertemuan terakhir ini alhamdulillah telah sukses diselenggarakan dengan tema yang sangat luar biasa, yakni “Charity, Filantropi, Filantropreneurs”. Diinisiasikannya tema ini karena urgensi di baliknya adalah ingin mengupas tuntas mengenai kegiatan charity, filantropi, dan filantropreneurs baik di Indonesia secara khusus maupun di dunia secara umum.
Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia menurut survei lembaga amal Charities Aid Foundation (CAF) dalam laporan World Giving Index 2018. Barometer ini dapat dilihat dari masyarakat Indonesia yang memang gemar bergotong-royong membantu orang lain walaupun mereka tidak kenal sekalipun. Culture masyarakat Indonesia yang “guyub” hampir ada di semua derah di Indonesia membuat siapa saja yang menyambanginya merasa betah dan nyaman. Selain itu, masyarakat Indonesia diperkuat dengan nilai-nilai yang mengajarkan pentingnya berbagi dan beramal kepada sesama sehingga Indonesia banyak memiliki lembaga dan program volunteernya, baik untuk dalam negeri serta mengirimkan delegasinya ke luar negeri.
“Saya rasa pertemuan ini menjadi ending untuk lebih membumikan apa yang telah kita pelajari selama ini, seperti sejarah, filsafat, taswauf, dan lain-lain. Intinya adalah kita ingin melihat bagaimana ajaran-ajaran Islam itu dapat beradaptasi dengan baik di dunia kontemporer,” ujar Prof. Amelia Fauzia, MA., Ph.D yang sekaligus menjadi harapan, dikesempatan menjadi narasumber pada shortcourse kesembilan yang diselenggarakan pada 28 April 2022 lalu.
Untuk memperkaya shortcourse kali ini, beliau lebih banyak menyajikan fakta dan data agar dapat membawa audiens untuk merefleksi dan menggali konsep mengenai praktik di masyarakat seperti apa, serta refleksi mengenai “kenapa bisa terjadi seperti ini?”.
Menurut beliau, konsep dalam Praksis Kedermawanan, charity merupakan suatu perbuatan baik atas dasar ajaran agama. Karena charity berawal dari kebingungan mengenai “mengapa ketika kita memberi secara individual namun masih banyak saja yang masih membutuhkan?”.
Ketika charity lebih berorientasi dalam lingkup kecil menghadirkan ketidakpuasan, maka munculah filantropi sebagai jawaban. Sebab filantropi hadir dengan cakupan yang lebih luas dari pada charity.
Filantropi seperti yang kita ketahui, merupakan lembaga yang besar-besar. Maksudnya adalah, kegiatan ini digagas oleh lembaga yang besar, dengan pendanaan besar, cakupan besar, dan jangka waktunya yang lebih panjang. Hal tersebut yang membedakan antara charity dengan filantropi.
Dalam charity dan filantropi modern, pasti tidak akan terlepas dari dunia usaha. Dalam filantropi, seseorang yang bergelut dalam bidang usaha dinamakan filantropreneur. Singkatnya, filantropreneur adalah filantropis yang memiliki jiwa entrepreneur, mereka akan mengelola program filantropi dengan jiwa wirausaha. Dan sebalikya, filantropreneur dapat dimaknai juga sebagai kewirausahaan yang dijiwai charity atau welas asih untuk kebaikan sesama.
Jika mengacu dalam Al-Qur’an dan Hadits, ada tiga levelling yang sangat kuat mengenai ajaran kedermawanan, yakni derma sebagai kewajiban agama, derma sebagai moralitas agama, dan derma sebagai keadilan sosial. Hal ini menandakan bahwa Islam memiliki jalan yang lengkap untuk mendorong filantropi dari mulai kewajiban, kemudian moralitas, hingga berujung dengan keadilan sosial (social justice of filantropi).
Ciri-ciri transformasi filantropi Islam yang terdapat trend ke arah filantropreneur, dapat dilihat sebagai berikut :
- Filantropisasi, yakni filantropi Islam yang masuk ke berbagai ruang
- Profesional, yakni modernisasi kegiatan amal
- Inovatif, berupa penggalangan dana kreatif
- Keterlibatan generasi milenial
- Digitalisasi, dengan penggunaan teknologi amal untuk pengumpulan, pengelolaan, crowfunding, dan lain-lain
- Masuk ke dalam kegiatan bantuan kebencanaan dan kemanusiaan
- Internalisasi dan pelibatan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs)
- Masuk ke dalam sociopreneurship (kewirausahaan)
- Pemberian inklusif, seperti organisasi amal transnasional (Islam)
Menilik praktik filantropi di Indonesia secara umum dalam dunia Islam, yakni dapat diketahui dengan kesalehan dan solidaritas sosial, tradisional secara kelembagaan, serta belum kuat kesadaran secara ekonominya. Namun dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang gemar membantu sesama dan tradisi dermanya yang kuat walau masih serba terbatas, maka tetap Indonesia dinobatkan sebagai negara yan paling dermawan.
Harapan melalui shortcourse yang diinisiasi oleh Social Trust Fund (STF) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dapat menjadi stimulus bagi filantropi Islam agar lebih kuat berpijak dalam ajaran dan norma Islam, juga dalam praktik dan tata kelolanya. Tipologi kedermawanan di Indonesia yang lebih banyak tradisional, individual, dan community foundation dapat diselaraskan dengan perubahan zaman. Tiap komunitas yang memiliki distingsi dan keunikan praktik derma, temasuk “mau kemana praktik filantropi akan dibawa?”, dapat segera menemukan jawabannya. Diharapkan, filantropisasi perlu dikuatkan kelembagaannya, tapi bukan keterlibatan civil society dan juga pihak bisnis/wirausaha. Selain itu, filantropi dan sociopreneurship (termasuk filantropreneurship) bisa mendorong filantropi ke arah kelembagaan yang kuat. Terakhir, tradisi fiantropi Islam yang kuat dari sisi norma dan ajaran kelembagaan, perlu digerakkan untuk lebih memberi solusi pada problem masyarakat dan agama, untuk kebajikan serta kemashlahatan.
Oleh karena itu, semoga dengan diadakannya kursus singkat mengenai Belajar Islam Untuk Profesional ini, dapat lebih memperkaya insight kita dalam mengejawantahkan nilai-nilai keislaman yang relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat madani.
Penulis: Bela Febry Ayu, Fakulta Ilmu Tarbiyah dan Keguruan