Dalam program Belajar Islam untuk Profesional (Bispro) yang dibawakan oleh Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag selaku Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, dan anggota Komisi Fatwa MUI Pusat. Dalam kesempatan ini membahas topik mengenai “Belajar dari Sunnah; Memotret Perjuangan Perempuan Pada Masa Nabi SAW dalam Memperoleh Haknya”.
Secara komprehensif definisi hadis atau sunnah menurut ulama bahwa hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat diri atau sifat pribadinya atau yang didefinisikan kepada sahabat atau tabi’in. Para ulama mengklasifikasikan beberapa hadis menjadi beberapa macam, yang beberapa diantaranya adalah hadis mutawatir, hadis hasan, dan hadis dhaif.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat dengan jumlah yang banyak pada setiap generasi atau thabaqatnya yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk melakukan kebohongan. Hadis mutawatir membawa ketentuan keharusan untuk menerimanya secara mutlak hingga membawa keyakinan yang pasti (qath’iy). Hadis-hadis mutawatir juga tidak perlu lagi diteliti lagi kualitas para periwayatnya karena banyaknya jumlah periwayat menjamin dari tidak adanya kebohongan dalam periwayatan. Kemudian hadis hasan adalah hadis yang disampaikan oleh periwayat yang adil tetapi ingatannya kurang kuat, bersambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan. Adapun hadis dhaif adalah hadis yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadis sahih atau hasan.
Salah satu pesan Al-Qur’an ialah mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, Al-Qur’an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan, maupun yang berdasarkan jenis kelamin.
Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk didiskusikan.
Rasulullah dalam beberapa hadis berupaya mengangkat derajat perempuan dengan menunjukkan penghargaan kepada cucu perempuannya sama seperti kepada cucu laki-lakinya, menjadikan belajar (pendidikan) sebagai kewajiban seumur hidup bagi laki-laki dan perempuan, dan memberikan hak serta penghargaan yang relatif sama dalam beribadah kepada laki-laki dan perempuan.
Memang ditemukan beberapa hadis yang masih merendahkan perempuan. Sebagiannya dapat dianggap sebagai transisi dari masa jahiliyah kepada Islam sebelum ayat Al-Qur’an turun, sedangkan sebagian lagi merupakan hadis dhaif yang tidak layak diamalkan.
PEMAHAMAN SAHABAT DAN UPAYA MENGANGKAT DERAJAT PEREMPUAN
Ada dugaan ayat-ayat dan praktek Nabi yang mengangkat derajat perempuan belum dapat dipahami secara penuh oleh para Sahabat. Beberapa dugaan tersebut seperti misalnya kemungkinan beberapa ayat yang mengangkat derajat perempuan dipahami dalam kerangka adat Arab sehingga terbelokkan dan tidak jadi mengangkat derajat perempuan.
Dugaan lainnya para Sahabat mungkin sukar atau belum dapat membayangkan sebuah masyarakat yang menghargai perempuan sebagai subjek hukum secara penuh, karena tidak ada pembandingnya. Kemudian dugaan yang terakhir yakni pemahaman Sahabat yang disadari atau tidak cenderung masih merendahkan perempuan, terus berlanjut sebagai pemikiran arus utama, sedang pemahaman yang berusaha mengangkat derajat perempuan merupakan pemahaman kelompok minoritas yang cenderung diabaikan. (Prof. Alyasa Abubakar, disampaikan pada Pengajian Ramadhan PP ‘Aisyiyah 1442 H/2021 M)
Wallahu a’lam bisshawab
Penulis: Farah Yuniar/FISIP/Mahasiswa KKN in Campus