Ipan Maspupan
Matanya terus dipaksa menatap data-data di layar monitor. Sesekali ia membolak-balik kertas putih yang menumpuk di atas mejanya, lalu kembali memencet papan tuts untuk memasukkan data. Empat kali dalam seminggu memasukkan data penuh angka ke komputer adalah hal yang sangat membosankan, terlebih hanya dengan gaji Rp200 ribu per bulan. Namun apa daya, semua pekerjaan itu harus ia jalani karena tak ada pilihan lain.
Ipan Maspupan namanya. Pria asal Garut ini masih berusia 21 tahun, dan baru duduk di semester 3 Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, pengalamannya untuk melanjutkan studinya bisa diacungi jempol. Banyak pekerjaan serabutan telah dilakoni. Ia pernah berjualan nasi kucing dengan modal menjual vespa miliknya. Pekerjaan itu hanya bertahan beberapa bulan, karena uang usaha dibawa kabur temannya sendiri. Diapun harus rela menanggung biaya sewa tempat yang sampai sekarang belum lunas.
Kesulitan yang menderanya tak berani ia sampaikan kepada keluarga. Orang tuanya terlanjur senang karena menyangka Ipan telah menerima beasiswa sejak semester awal. Ia teringat, saking senangnya, sang Ibu pernah membuatkan tumpeng sebagai bentuk syukur karena Ipan diterima di Perguruan Tinggi. “Saya sempat menangis tersedu-sedu di halte kampus saat mengetahui informasi beasiswa itu tidak jadi ia terima,” ujar Ipan. Alih-alih berkata jujur yang mungkin bisa dimengerti orang tuanya, Ipan justru memilih untuk berjuang sendiri.
Ipan juga pernah menjalani pekerjaan sebagai pencuci motor. Pekerjaan itu ia lakukan selepas jam kuliah. Kulitnya yang sensitif dengan deterjen, membuatnya harus menahan perih tiap waktu. Hanya hal itu yang bisa dilakukannya, setelah 27 lamaran kerjanya ditolak. Masa-masa akhir semester adalah momok baginya. Pasalnya, uang SPP yang baginya amat mahal sudah harus ia siapkan. Ipan pun harus melipatgandakan usahanya mencari penghasilan.
Ipan sempat bergumam dan meratapi nasib. Alangkah beruntungnya teman-teman di kampusnya yang bisa gonta-ganti sepatu kapan pun ia mau, sedang dirinya hanya bisa membeli sepatu second dari tukang sol sepatu. Malang nian, terlebih saat satu-satunya sepatu yang ia miliki diambil pemulung. Ipan pun harus mengenakan sandal ke kampus. “Itu pun pinjaman,” tukasnya.
Orang mungkin sempat tidak percaya apa yang telah menimpanya selama ini. Sejak pertama kali menginjakkan kakinya di Ciputat hingga semeseter 2, Ipan tidak memiliki tempat tinggal atau kos layaknya mahasiswa lain. Untuk menyiasatinya, ia menumpang, berpindah dari satu kosan ke kosan temannya yang lain. Baru saat menjelang semester 3, dia bisa merasakan betapa nikmatnya punya kamar kos sendiri, meski ia harus berbagi dengan 14 teman lainnya dalam satu rumah kontrakan yang dibayar patungan.
Bagaimanapun, Ipan merasa bangga karena ia mampu bertahan. Ia tak pernah meminta uang sepeser pun kepada orang tua untuk membiayai kuliahnya. Ipan pun harus menahan kerinduan tak pulang ke kampung halaman dalam waktu lama untuk menghemat uang. “Pulang ke rumah juga semakin bikin sedih,” tuturnya. Ipan tak ingin ibu-bapaknya tahu bagaimana kesulitasn yang dialaminya.
Kini, Ipan dapat tersenyum lega. Minimal ia tak perlu bersusah payah memikirkan uang SPP yang nilainya sangat besar bagi seorang Ipan. Ya, Ipan adalah salah satu penerima beasiswa STF sejak akhir tahun 2014 lalu. Meski harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, prestasi akademik Ipan tetap terjaga. IPK terakhir yang diraihnya mencapai 3,6.
Namun, perjuangan Ipan belum berakhir. Ia masih menyisakan empat semeter masa studinya. Ipan masih harus menjaga prestasi akademiknya agar tetap mendapat beasiswa. Ia juga masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. [fah/mir].