Pada hari Jumat, 22 April 2022 telah dilaksanakan Shortcourse Bispro pertemuan #6 dengan tema “Ekonomi dan Bisnis Syariah dalam Bingkai Kebangsaan”. Acara ini berlangsung selama 90 menit melalui zoom cluoud meetings dengan Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag sebagai narasumber. Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag merupakan Ketua Prodi Doktor Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syari Hidayatullah Jakarta.
Ekonomi dan bisnis syariah tidak terlepas dari pemahaman kita terhadap syariah itu sendiri. Aktivitas ekonomi dan bisnis adalah bagian dari muamalat. Berbicara mengenai ekonomi syariah berarti berbicara ilmu kesyariahan dan syariah adalah bagian dari ajaran islam. Maqashid syariah pada prinsipnya adalah melindungi atau mengimplementasikan lima indikator yaitu: 1) Diin (agama); 2) Aql (akal); 3) Nafs (jiwa); 4) Nasl (keturunan); dan 5) Mal (harta). Menurut Choudhury (1992), terdapat tiga nilai dasar dari maqashid syariah yang dikembangkan sebagaai prinsip dasar ekonomi syariah, yaitu: 1) Tawheed and brotherhood; 2) Work and productivity; serta 3) distributional equity.
Nilai syariah dalam konteks ekonomi diwujudkan dalam bentuk kelembagaan seperti perbankan dan lembaga keuangan. Perbankan dan lembaga keuangan syariah merupakan hasil dari masuknya nilai keagamaan dalam kelembagaan. Berbeda dengan sistem perbankan konvensional, dalam perbankan syariah menggunakan akad-akad transaksi syariah seperti akad mudharabah, musyarakah, murabahah dan lain sebagainya. Dimana, dalam hal ini perbankan syariah harus bebas dari unsur bunga, spekulasi, dan judi.
Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag menuturkan bahwa saat ini perkembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia tidak hanya terjadi pada bank dan lembaga keuangan. Tetapi juga sudah berkembang ke dalam dunia industri dan bisnis. Seperti saat ini Indonesia sedang mengembangkan industri halal. Dalam konteks global, Indonesia menempati posisi ke-2 untuk Islamic finance dan hallal food. Meskipun demikian, Indonesia belum mampu bersaing dalam dalam bidang rekreasi, pariwisata, obat-obatan, fashion dan aspek bisnis halal lainnya.
“Jika dibandingkan dengan Malaysia, Malaysia jauh lebih di depan. Padahal, jumlah penduduk Malaysia hanya 10% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan, Indonesia 98% penduduknya adalah muslim. Tetapi Indonesia belum bisa mengalahkan negara-negara lain dalam kontes global.” Tutur Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag.
Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag melanjutkan bahwa market share dan literasi keuangan syariah nasional di Indonesia masih rendah yatiu kurang dari 10%. Berdasarkan data dari lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2019, indeks literasi keuangan syariah nasional dan indeks inklusi keuangan syariah nasional secara berturut-turut yaitu sebesar 8,93% dan 9,1%. Hal ini berbeda dengan skor indeks literasi wakaf dan zakat yang menunjukkan persentase lebih besar yaitu 50,48% untuk indeks literasi wakaf dan 66,78% untuk indeks literasi zakat.
Jika kita melihat ke belakang mengenai perkembangan hukum keuangan syariah di Indonesia, sudah banyak peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur tentang perbankan syariah. Pada tahun 1992 diterbitkan UU Perbankan No 72 tahun 1972 yang menjelaskan berdirinya bank bagi hasil. Kemudian, pada tahun 1998 dikeluarkan UU Perbankan No 10 Tahun 1998 yang berisikan bahwa Indonesia mengembangkan dual banking sistem yaitu bank konvesnional dan syariah. Pada tahun 2004, dikeluarkan UU No 41 Tahun 2004 mengenai wakaf. Lalu, UU No 23 Tahun 2011 mengenai zakat yang diatur dan dikelola oleh negara. Menurut Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag, adanya peraturan-peraturan ini mengindikasikan bahwa niali-nilai islam seperti prinsip syariah, zakat, dan wakaf diimplementasikan dalam konteks kebangsaan.
Selanjutnya, berbicara mengenai amanah konstitusi pembangunan nasional yang mengacu pada pasal 33 dan pasal 27 UUD 1945, Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag mengatakan bahwa demokrasi ekonomi harus dibangun, dirasakan, dinikmati, dan dievaluasi oleh rakyat. Rakyat harus diposisikan sebagai subjek dari pembangunan. Untuk itu, pemerintah harus memberikan fasilitas dan ruang kepada masyarakat agar masyarakat memiliki pendapatan sehingga dapat membiayai dirinya sendiri dan memiliki kehiudpan yang layak.
Demokrasi ekonomi Indonesia becita-cita untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini termasuk social justice, fairness, equity dan equality. Sehingga, perlu adanya pemihakan kepada masyarakat yang lemah, miskin, dan terbelakang agar mendapatkan perhatian ke arah pemberdayaan.
“Orientasi pembangunan selayaknya tidak hanya untuk menigkatkan pendapatan perkapita, tetapi juga harus diarahkan pada penguatan kapasitas masyarakat, kemampuan berproduksi dan penegakkan nilai-nilai moral” Ujar Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag
“Oleh karena itu, pembangunan buknalah suatu tujuan, melainkan strategi tentang bagaimana maysarakat dapat memproduksi dan memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang layak” Sambungnya.
Menurut ibnu Khaldun mengenai kemakmuran atau “Circle of Equity”, Ibnu Khaldun meyakini dan optimis bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi modal utama dalam mencapai kemakmuran sutau negara. Mengacu pada hal tersebut, Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag mengatakan bahwa Indonesia harus mampu mengoptimalkan 70% penduduk yang berusia produktif pada tahun 2024 untuk menjadikan Indonesia negara maju. Jika tidak, bonus demografi itu nantinya hanya akan menjadi beban negara. Dalam konsep syariah, kesejahteraan dapat dicapai dengan berdasar pada nilai-nilai maqashid syariah.
Berbicara mengenai kesejahteraan, dilihat dari indeks gini, kesejahteraan masyarakat Indonesia masih rendah. Ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia masih cenderung tinggi. Dalam hal ini diperlukan peran pemerintah dan masyarakat. Hadirnya ekonomi syariah diharapkan dapat menjadi solusi atau insturmen dalam pemecahan masalah kebangsaan seperti kemiskinan dan ketimpangan.
Melihat dari struktur usaha masyarakat, sebanyak 99% usaha masyarakat Indonesia berada pada skala mikro kecil. Usaha mikro kecil ini memberikan kontribusi besar bagi negara, yaitu sebesar 61,07% berkontriubsi terhadap PDB, 97% berkontribusi terhadap tenaga kerja dan 14,37% berkontribusi terhadap total ekspor non migas. Oleh karena besarnya kontribusi usaha mikro kecil ini, maka perlu adanya pemberdayaan.
Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag mengatakan bahwa terdapat tiga instrument ekonomi syariah yang dapat dilakukan Indonesia untuk memecahkan berbagai masalah kebangsaan, yaitu skema zakat, wakaf, dan keuangan mikro syariah.
“Pertama, zakat menjadi penting dalam ekonomi syariah karena zakat tidak hanya berfungsi untuk membersihkan tetapi juga sebagai bentuk redistribusi pendapatan sehingga ada multiplier effect ekonomi dari muzakki kepada mustahiq”. Ucap Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag
“Kedua, waqaf. Waqaf tidak hanya berorientasi pada benda bergerak tetapi juga pada benda tidak bergerak. Bentuk waqaf komersil misalnya seperti mendirikan hotel, apartemen, pertokoan, dan lembaga pendidikan” Lanjutnya.
“Ketiga, keuangan mikro syariah. Adanya keuangan mikro syariah seperti koperasi syariah dapat menjadi mitra yang efektif dalam pembiayaan usaha mikro tadi. Intinya, bagaimana kita bisa mensinergikan antara lembaga keuangan syariah dan lembaga sosial islam dengan lembaga keuangan mikro syariah untuk mendukung peran usaha skala mikro kecil agar dapat mencapai level kesejahteraan”. Pungkas Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag.
Keberpihakan masyarakat Indonesia terhadap bank syariah memang belum bisa dilakukan sepenuhnya. Masih banyak masyarakat yang ragu untuk berpindah menggunakan bank atau lembaga keuangan dengan konsep syariah. Hal ini jugalah yang menjadi penyebab rendahnya market share keuangan syariah di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag, seharusnya masyarakat Indonesia tidak perlu ragu untuk beralih ke lembaga keuangan syariah karena dalam kelembagaan syariah sudah terdapat Dewan Syariah Nasional dan DPS yang bertugas mengawasi aktivitas dari lembaga keuangan syariah.
Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag juga manambahkan bahwa bank dan lembaga keuangan syariah merupakan bentuk perjuangan dari umat islam untuk mengimplementasikan nilai-nilai islam dalam konteks kebangsaan dan itu bukanlah hal yang mudah. Selain bank dan lembaga keuangan, saat ini label halal juga tidak hanya menjadi masalah keagamaan, tetapi juga menjadi comparatif advantage untuk masuk ke dalam persaingan global.
Acara ini diakhiri dengan closing statement dari Prof. Dr. Euis Amalia, M.Ag:
“Ekonomi islam adalah eknomi yg berdasarkan kepada nilai-nilai tauhidiyah dan ilahiyah. Ekonomi syariah hadir dengan adanya regulasi dan dukungan dari pemerintah dalam konteks kebangsaan negara tanpa menjadikan sistem ekonomi yang lain, namun tetap berada dalam koridor pancasila dan UUD 1945 yg nilai-nilainya sejalan dan kompatibel dengan nilai-nilai ekonomi syariah. Ekonomi syariah harus mampu menjadi instrumen yg penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan bangsa”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekonomi syariah sejalan dengan ekonomi Pancasila. Ekonomi syariah memiliki instrument-intrument yang dapat dijadikan sebagai alat untuk memecahkan masalah kebangsaan seperti ketimpangan dan kemiskinan. Saat ini, ekonomi syariah tidak hanya berkembang dalam sektor perbangkan dan lembaga keuangan tetapi juga sektor indsutri dan bisnis. Agar dapat meningkatkan keberpihakan masyarakat terhadap ekonomi syariah dan market share keuangan syariah, maka perlu dilakukan sosialisasi dan pembaharuan regulasi pemerintah dalam mendukung institusi-institusi keuangan islam untuk menggunakan bank dan lembaga keuangan syariah.
Penulis: Een Suhenti, Fakultas Sains dan Teknologi
[…] sumber: stfuinjakarta […]